Pendahuluan
Masyarakat pada era teknologi ini cenderung tertarik kepad ahal-hal berbau modern seperti teknologi canggih dengan desain yang lebih sederhana dan elegan, dibandingkan dengan desain model tradisonal. Hal ini berpengaruh juga kepada desain-desain bangunan yang dibangun pada era masa kini, salah satunya Masjid Raya Sumatera Barat. Masjid yang dikenal sebagai tempat beribadah orang muslim dikenal dengan bangunan yang selalu memiliki kubah sebagai penanda jika bangunan tersbut adalah masjid, tempat orang-orang muslim untuk melakukan ibadah. Tetapi Masjid Raya Sumatera Barat yang resmi didirikan pada tahun 2016 ini, menuai banyak reaksi baik itu dari warga Sumatera Barat maupun untuk warga Indonesia.
Desain bentuk masjid ini terbilang sangat unik, dengan menggunakan unsur kebudayaan pada setiap detail bangunannya. Memilih menggunakan atap yang identik dengan bentuk Rumah Gadang Minang yang memiliki atap gonjong dibanding menggunakan kubah seperti bentuk atap masjid pada umumnya. Hal tidak biasa inilah yang menuai beberapa anggapan dari masyarakat, mereka mengatakan bahwa bangunan ini tidak mencerminkan bentuk masjid dan meragukan akan keberadaanya sebagai tempat beribadah.
Masjid Raya Sumatera Barat adalah sebuah karya arsitektur masa kini yang dapat dibilang sebagai karya pos-modern, dimana kaidah-kaidah tradisional sudah ditinggalkan dalam pengambilan bahasa penanda sebuah bangunan sakral umat islam di nusantara. Respon masyarakat terhadap bentuk atap masjid ini menjadi poin penting yang dibahas pada tulisan ini, sebagai bentuk betapa pentingnya penanda dan petanda dalam sebuah bentuk bangunan yang telah disepahami oleh masyarakat sebagai bentuk dari sebuah bangunan, dalam hal ini kubah sebagai penanda bahwa bangunan tersebut adalah masjid tempat beribadah umat muslim di nusantara.
Rumusan Masalah
Menganalisis bagaimana penilaian terhadap Masjid Raya Sumatera Barat jika dikaji dari semiotika terhadap struktur makna yang terkandung dalam bangunan tempat ibadah umat muslim di nusantara?
Tujuan
Untuk mengetahui analisis semiotika pada bangunan peribadatan umat muslim di nusantara.
Pembahasan
Menurut Altman, sebagai produk budaya, arsitektur pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, faktor budaya, dan teknologi. Faktor lingkungan, mencakup kondisi alamiah lingkungan seperti faktor geografis, geologis, iklim, suhu, dan sebagainya. Faktor teknologi, meliputi aspek pengelolaan sumber daya dan keterampilan teknis membangun. Faktor budaya, di anatara banyak definisi tentang kebudayaan , meliputi aspek falsafah, kognisi lingkungan, presepsi, norma dan religi, strutur sosial dan keluarga, ekonomi, dan lain-lain.
Masjid merupakan bangunan yang penting bagi umat islam, sebagai tempat segala kegiatan keislaman berlangsung, masjid berfungsi sebagai tempat beribadat, dan peran sentral bagi kegiatan umat. Apabila dilihat pada masa sekarang, masjid semakin dijadikan sentral aktivitas dari segala kegiatan kebaikan. Bentuk dasar dari sebuah masjid tradisional adalah berbentuk segi empat dengan sebuah serambi di bagian depan, dan empat buah tiang yang menjadi penyangga atap masjid. Bentuk dasar atap biasanya diperlihatkan dengan bentuk atap tajung dengan memolo di puncak atap atau meru karena pengaruh hindu, bentuk atap kubah karena pengaruh Timur Tengah yang dibawa oleh pada Kyai/Ulama masa lampau.
Bentuk kubah selanjutnya menjadi simbol utama bahkan ciri khas untuk bangunan masjid, sehingga kubah ini menjadi penanda sebuah bangunan masjid yang secara turun menurun diikuti masyarakat islam di nusantara. Karakter bangunan dengan bentuk kubah memperlihatkan tradisionalitas bentuk simbolik, hal ini menjadikan bentuk masjid seperti sudah menjadi bahasa baku dalam arsitektur masjid di nusantara, sehingga terjadi keterbatasan dan kekakuan dalam perkembangan desain arsitektur dari masjid.
Gambar: https://mudabicara.com/ |
Sedangkan atap Masjid Raya Raya Sumatera Barat memiliki atap yang digambarkan seperti kain segi empat yang menyerupai sorban yang dipakai saat peletakan hajar aswad. Secara tidak langsung melambangkan bahwasanya orang Minangkabau dalam hal pengambilan keputusan selalu mengutamakan demokrasi. Dalam pepatah kuno dikatakan barek samo dipikua, kok ringan samo dijnjiang (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing).
Keempat sudut atap yag menjulang tinggi diibaratkan menyerupai ujung-ujung kain yang dipegang oleh empat orang. Ini melambangkan bahwasanya masjid ini bukan hanya milik mereka yang berdomisili di daerah di kota Padang tempat didirikannya masjid ini) tetapi, milik keempat kecamatan yang ada di Padang, yaitu Padang Utara, Padang Selatan, Padang Barat, dan Padang Timur. Dari atap masjid ini menjadi penanda bersatunya keempat kecamatan di kota Padang diharapkan masjid ini akan tetap terjaga dan terpelihara, sesuai dengan smeboyan kota Padang, "kujaga dan kubela".
Karya arsitektur pada masjid ini menjadi lebih bermakna dan memiliki filosofi desain yang dapat menyampaikan pesan yang tercermin dalam berbagai makna, sehingga karya tersebut dapat menjadi sarana dan objek pembelajaran kepada masyarakat. Walau pada kenyataannya, banyak masyarakat hanya mengerti fungsi dan menyukai desainnya saja tanpa mengerti makna yang tersampaikan dalam karya tersebut. Serta pada dasarnya bentuk bangunan yang mencerminkan fungsinya tidak harus seragam dengan bangunan lain yang memiliki fungsi yang sama.
Kemudian jika kita mengkaitkan pemaknaan secara referensional, dimana bangunan masjid yang kita kenal sebagai tempat beribadah dan diterjemahkan dengan bangunan pesergi dengan atap yang memusat dan mengerucut ke langit dengan simbol dari aspek keutuhan. Hal ini tidak muncul pada bangunan masjid studi kasus, atap tidak memilik pusat pada bagian tengahnya yang mengerucut ke langit, tetapi malah memiliki empat sudut yang menyerupai tanduk kerbau (filosofi rumah adat Bagonjong).
Masjid Tuo Kajo |
Komentar
Posting Komentar